Kita wajib bermusyawarah dan berdiskusi dengan tenang demi meraih kebenaran saat ada perbedaan pendapat, terlebih para penuntut ilmu. Apabila kebenaran sudah jelas, seseorang wajib mengikutinya, tidak boleh berambisi untuk memenangkan pendapatnya. Karena ia bukanlah pembuat syariat yang maksum, seraya menyatakan bahwa pendapatnya yang benar dan selain dari pendapatnya adalah salah. Kewajiban bagi manusia yang beriman adalah menjadi pribadi yang Allah inginkan di dalam firman-Nya, Allah Ta’ala berfirman:
وَمَا كَانَ لِمُؤۡمِنٖ وَلَا مُؤۡمِنَةٍ إِذَا قَضَى ٱللَّهُ وَرَسُولُهُۥٓ أَمۡرًا أَن يَكُونَ لَهُمُ ٱلۡخِيَرَةُ مِنۡ أَمۡرِهِمۡۗ وَمَن يَعۡصِ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥ فَقَدۡ ضَلَّ ضَلَٰلٗا مُّبِينٗا
“Dan tidaklah pantas bagi laki-laki yang mukmin dan perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barang siapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, maka sungguh, dia telah tersesat, dengan kesesatan yang nyata.” (QS. Al-Ahzab: 36).
Adapun pribadi manusia yang ingin memenangkan pendapatnya walaupun nampak kebatilannya, maka ini keliru dan termasuk kebiasaan kaum musyrik yang enggan mengikuti Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam.
Liqa’ Al-Bab Al-Maftuh (2/103) Tafsir Juz ‘Amma, hlm. 324
- Penerjemah: Ustadz Imron Rosady.
- Editor: Ustadz Akhmad Taufik Arizal, Lc., M.H.